Blogger Template by Blogcrowds.

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH

  1. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI  AYYUBIYAH
 Keruntuhan kekuasaan Bani Fatimiyah membawa pengaruh bagi lahirnya Dinasti baru. Setelah berkuasa kurang lebih 262 tahun di Mesir kekuatan Dinasti ini melemah. Kehancuran Dinasti ini dipicu oleh adanya konflik internal kerajaan yang timbul karena perebutan Jabatan Wazir di antara para Suku di dalam kerajaan. Setelah Dinasti Fatimiyah runtuh, kendali pemerintahan di Mesir dipegang oleh Salahudin Yusuf Al Ayyubi. Al Ayyubi memerintah di Mesir setelah di angkat perdana mentri oleh Khalifah Bani Fatimiyyah terahir, Al Adid pada tahun 1174 M. dalam pekembangannya, Salahudin Yusuf Al Ayyubi sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah, menyatakan kesetiaannya pada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah, Berarti secara langsung, Dinasti Ayyubiyah bertentangan dengan Dinasti Fatimiyah,. Pertentangan ini terletak pada perbedaan sikap politik antara Dinasti Fatimiyah dengan Dinasi Ayyubiyah, yaitu pengakuan terhadap posisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Dinasti Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub , seorang keturunan Suku Kurdi dari Azerbeijan. Nama Ayyubiyah dikaitkan dengan nama ayah Salahuddin, yaitu Ayyub  bin Syadzi. Sebenarnya Dinasti ini berbentuk Persatuan (Konfederasi).  Beberapa yang tunduk pada satu Dinasti yang di pimpin oleh  kepala keluarga, tiap - tiap Dinasti di pimpin oleh seorang anggota keluarga Ayyubiyah. Pendiri Dinasti Ayyubiyah adalah Salahuddin Al Ayyubi putera dari Najmuddin Bin Ayyub . Pada masa Nuruddin Zanki, Gubernur Syuria dari Dinasti Abbasiyah , Salahuddin Al Ayyubi diangkat sebagai Garnisun di Balbek.
Pada waktu masih muda, Salahuddin Al Ayyubi kurang begitu dikenal dikalangan masyarakat Syiria. Ia gemar melakukan diskosi tentang Ilmu Fikih, Ilmu Kalam, Al Qur’an, Dan Hadis, Kemudian oleh ayahnya, ia dikenalkan dengan Nuruddin Zanki Gubernur Syuria pada waktu itu.
Kehidupan Salahuddin Al Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan, hal itu dilakukannya dalam menunaikan tugas Negara untuk memadamkan sebuah pemberontakan serta menghadapi tentara Salib, semua ppeperangan itu berhasil dimenangkannya. Meskipun demikian , Salahuddin Al Ayyubi bukanlah seorang pemimpin yang tamak , haus kekayaan , dan haus darah. Ia bukanlah orang yang ambisius. Perang hanya dilakukan hanya untuk mempertahankan dan membela agama. Selain itu, Salahuddin Al Ayyubi memiliki toleransi yang tinggi terhadap agama  lain.  Ketika menguasai Iskandariyah ia mangunjungi orang - orang Kristen, ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengizinkan untuk berziarah ke Baitulmakdis.
Keberhasilan Salahuddin al Ayyubi sebagai tentara mulia terlihat ketika mendampingi pamannya, Asaduddin Syirkuh, yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1164 M. Perdana Menteri Syawar yang dikudeta oleh Dirgam menjanjikan imbalan sepertiga pajak tanah Mesir kepada Salahuddin al Ayyubi, jika ia barhasil mengalahkan Dirgam.
Ternyata Salahuddin mangalahkan tentara Dirgam dan akhirnya Perdana Syawar bisa mendduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.  Tiga tahun kemudian, Salahuddin al Ayyubi kembali menyertai pamannya ke Mesir. Hal ini terjadi karena Syawar bersekutu dengan Amauri, seorang tentara perang salib yang dulu pernah membantu tentara Dirgam, keadaan ini sangat membahayakan posisi Nuruddin Zanki dan Umat Islam pada umumnya.
Terjadi peperangan sengit antara pasukan Salahuddin melawan pasukan Syawar yang dibantu oleh Amauri, Pada mulanya pasukan Salahuddin al Ayyubi berhasil menduduki kotaIskandariyah, tetapi ia dikepung dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin Amauri. Peperangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulan Agustus 1167 M. Perjanjian tersebut berisi tentang pertukaran tawanan perang, kemudian Salahuddin al Ayyubi kembali ke Suriah , sedangkan Amauri kembali ke Yerussalem dan kota Iskandariah diserahkan kembali kepada Syawar ,
Pada tahun 1169 M , tentara salib yang dipimpin Amauri melanggar perjanjian damai yang telah disepakatinya, meraka banyak membunuh masyarakat Mesir dan berusaha menurunkan Khalifah al Adid dari jabatannya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan keadaan Umat Islam. Melihat kondisi ini, Asaduddin Syirkuh  dan Salahuddin al Ayyubi kembali memasuki Mesir. Amauri dapat dikalahkan dan Mesir dapat dibebaskan dari ancaman tentara Salib. Akan tetapi, keberhasilan Asaduddin  Syirkuh dan Salahuddin al Ayyubi ini tenyata menimbulkan kedengkian Syawar, Syawar berusaha  membunuh keduanya, tetapi rencana itu diketahui oleh Asaduddin Syirkuh dan Syawar berhasil ditangkap. Atas perintah Kholifah Al adid, akhirnya Syawar dihukum mati.
Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Khalifah al Adid dari Dinasti Fatimiyah mengangkat Asaduddin Syirkuh  sebagai Perdana Mentri Mesir pada tahun 1169 M.   ini merupakan pertama kalinya keluarga al Ayyubiyah menjadi Perdana Mentri, tetapi tidak lama setelah dilantik yaitu dua bulan ia meninggal, kemudian posisinya di gantikan oleh Salahuddin al Ayyub yang di lantik oleh Khalifah al Adid pada tanggal 25 Jumadil Akhir 564 H/26 Maret 1169 M. Pada waktu itu Salahuddin al Ayubiah berusia 32 tahun, sebagai Perdana Menteri dia mendapatkan gelar Al Malik an Nasr.
Setelah Khalifah Al Adid wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin Al Ayubi mengambil alih kekuasaan di Mesir. Salahuddin al Ayubi memploklamirkan dirinya sebagai Sultan Mesir dengan nama Al malik an Nasir As Sultan Salahuddin Yusuf. Sebelum Salahuddin berkuasa, di Mesir telah berdiri Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syiah. Namun Salahuddin mendukung Dinasti Abbasiyah karena sama-sama bermazhab Sunni. Ia juga berusaha mengambalikan kekuasaan spiritual dalam setiap Khutbah Jum’at sebagai pengganti penyebutan penguasa Dinasti Fatimiah Al Adid dengan Khalifah Abbasiyah. Hal ini ia lakukan pada tahun 1171 M, dan pada tahun ini pula Salahuddin al Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Sejak 1171 M, Dinasti Ayubiyah mulai berkuasa, hingga 75 tahun lamanya. Karena dianggap berhasil dalam menjalankan pemerintahanya, Khalifah al Mustadi (Khalifah bani Abbasiyah) memberikan gelar Al Mu’iz li amiru mukmin  kepada Salahuddin al Ayyubi.
Pada tahun 1175 M, Khalifah al Mustadi memberikan wilayah Mesir,An Naubah, Yaman, Tripoli, Syiria dan Magrib (Maroko) sebagai kekuasaan.

  1. MASA PEMERINTAHAN DINASTI AYYUBIYAH
Setelah Khalifah Al Adid wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin al Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan politik. Pada masa pemerintahannya, Salahuddin al Ayyubi membagi wilayah kekuasaan kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa cabang Dinasti Ayyubiyah, diantaranya :
  1. Kesultanan Ayyubiyah di Mesir Dengan Rajanya Salahuddin Yusuf Al Ayyubi 1171 – 1193 M
  1. Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus dengan rajanya Al-Afdal  1193 – 1196 M
  1. Kesultanan Ayyubiyah di Aleppo dengan rajanya Al-Adil I 1183 – 1193 M
  2. Kesultanan Ayyubiyah di Hamah Dengan rajanya Al-Muzaffar I 1178 – 1191 M
  3. Kesultanan Ayyubiyah di Homs dengan rajanya Al-Qahir 1178 – 1186 M
  4. Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafariqin dengan rajanya Al-Adid I 1193 – 1200 M
  5. Kesultanan Ayyubiiyah di Sinjar dengan rajanya Al-Asraf 1220 – 1229 M
  6. Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa dengan rajanya As-Salih Ayyub 1232 – 1239 M
  7. Kesultanan Ayyubiyah di Yaman dengan rajanya Al-Mu’azzam Turansyah 1173 – 1181 M
  8. Kesultanan Ayyubiyah di Kerak dengan rajanya An- Nasir Dawud 1229 – 1249 M


  1. KEMAJUAN – KEMAJUAN PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH
Kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Ayyubiyah meliputi :
  1. Kemajuan di Bidang Pendidikan
Meskipun Salahuddin Al-Ayyubi terlibat aktif dalam perang Salib, bukan berarti ia dan penerusnya mengabaikan bidang pendidikan. Mereka masih sempat dan memajukan pendidikan dinegerinya. Ia juga dikenal sebagai pelindung para ilmuwan. Melalui lembaga pendidikan Salahuddin berusaha mengganti paham Syiah dengan Paham Sunni.
Pada masa Salahuddin, Syiria menjadi kota pendidikan yang besar. Ibnu Jubair yang mengunjungi Damaskus pada Tahun 1184 M, mendapati sekitar 20 madrasah dikota ini. Salah satu akademi terkemuka pada msa itu adalah As-Shalahiyyah di Kairo. Al-Azhar yang semula mengajarkan paham Syiah kemudian dijadikan tempat pengajaran paham Sunni.
  1. Kemajuan di Bidang Kesehatan
Pada masa Salahuddin ada  2 rumah sakit yang telah dibangun dan pengobatannya bebas biaya.
  1. Kemajuan di Bidang Arsitektur
Salah satu peninggalan yang menunjukkan kemajuan pada masa Dinasti Ayyubiyah adalah Benteng Kairo yang dibangun pada tahun 1183 M oleh Salahuddin Al-Ayyubi. Bahan bangunan yang digunakan adalah serupa  dengan batu balok yang dipakai bangunan Piramida.
  1. Kemajuan di Bidang Pertanian dan Perdagangan
Kemajuan di Bidang ini dapat kita lihat pada masa Al-Kamil, ia membangun sarana irigasi. Disamping itu juga sudah ada penandatanganan perjanjian dagang dengan Negara-negara Eropa.
5.      Al-Azhar Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan ilmu-ilmu Keislaman
Al-Azhar adalah nama sebuah lembaga pendidikan dan keagamaan di Kairo, Mesir yang sangat masyhur di dunia Islam. Al-Azhar mencakup sebuah masjid sebagai pusat kegiatan Islam dan sebuah lembaga Pendidikan pengemban misi dakwah. Mahasiswa yang studi di Al-Azhar tidak hanya dari Mesir saja, tetapi juga mahasiswa asing yang berasal dariPakistanSudanIndonesia, dan Negara lainnya. Saat ini diperkirakan jumlah mahasiswanya mencapai 50.000 orang.
Pada mulanya Al-Azhar adalah sebuah masjid dikota Kairo, yang dibangun oleh Jaubar al Khatib as Shiddiq (Panglima Perang Islam Dinasti Fatimiyah) pada tahun 972 M. Jauhar yang menaklukkan Mesir pada tahun 971 M, itu diperintah membangun Masjid oleh Khalifah Al-Mu’iz li dinillah dari Dinasti Fatimiyah. Semula Masjid itu dinamakan Masjid Jami’ Al-Qahira sesuai nama kota Masjid ini dibangun, Al-Qahira atau Kairo. Kemudian masjid ini dinamai Al-Azhar karena dikaitkan dengan Az-Zahra yang bersal dari nama/Julukan Fatimah Binti Muhammad Saw.
Selain sebagai pusat dakwah ajaran Syiah, di Al-Azhar juga diajarkan berbagai macam ilmu, seperti yang terkait dengan bahasa yaitu Nahwu/Tata bahasa Arab, Balghah, mantic/Logika, dan sastra. Selain itu juga diajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu tauhid, fikih, hadits, tasawuf.
Akan tetapi pada tahun 378 H/988 M ketika Khalifah Al-Aziz berkuasa, masjid Al-Azhar dikembangkan fungsinya menjadi Universitas. Dengan perkembangan tersebut maka ilmu-ilmu yang dikembangkan didalamnya semakin banyak. Ilmu – ilmu itu sebagian menjadi nama fakultas seperti ; Syari’ah ushuluddin, bahasa, kedokteran, dan juga ilmu lain seperti matematika, filsafat, sejarah, dan pertanian.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah Al-Azhar tidak banyak berperan, alasanya karena Dinasti Fatimiyah mempropagandakan madzhab syiah dan Al-Azhar sebagai media utama dakwahnya. Sedangkan Seluruh penguasa Dinasti Ayyubiyah bermadazhab Sunni.
Pada saat dinasti Ayyubiyah berkuasa atas Mesir, Masjid Al-Azhar sempat tidak dipakai untuk Shalat Jum’at hamper sati abad lamanya (1171 – 1267). Alasannya adalah tidak diperkenankanya dua shalat Jum’at di satu kota selagi masjid yang satu belum penuh jama’ahnya menurut madzhab syafi’iyyah. Selama kurun waktu tersebut shalat Jum’at dilaksanakan dimasjid Al-Hakim. Dakwah ajaran syiah dilarang dilakukan dimasjid Al-Azhar, sebaliknya yang diperbolehkan adalah dakwah ajaran Sunni. Masjid Al-Azhar dipakai kembali untuk shalat Jum’at pada masa pemerintahan Sultan Baybar dari Dinasti Mamluk.
Sebagai lembaga keagamaan Al-Azhar memiliki fungsi dan peran sebagai berikut :
a.             Pusat kegiatan Al-Muhtasib, jabatan agama yang penting pada masa Dinasti Fatimiyah  
b.            Tempat Penyelenggaraan Maulid Nabi  Muhammad Saw. Tiap tanggal 12 Robiul Awal dan peringatan hari ‘Asyura tiap tanggal 10 Muharram.
c.             Tempat sidang Khalifah dan qadhi/mentrinya untuk membahas suatu masalah.
d.            Tempat mencetak ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu.
e.             Tempat mencetak ulama’ yang beriman dan mempunyai keteguan mental serta mempunyai ilmu yang mendalam tentang akidah, syari’at, dan bahasa Al-Qur’an untuk disuplai keseluruh dunia.

  1. RUNTUHNYA DINASTI AYYUBIYAH
Sebelum wafat Salahuddin Al-Ayyubi membagi kekuasaanya kepada pewarisnya, yaitu anak-anak dan saudaranya. Namun perselisihan dan pertikaian tak bisa dihindari diantara para pewarisnya.
Perselisihan terus terjadi, Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan Damaskus selalu bersaing untuk memperebutkan wilayah Syiria. Akibat perselisihan ini, beberapa kota yang dulu dikuasai Salahuddin lepas ketangan pasukan salib. Dan yang kemudian berhasil mengembalikan Yerussalem ketangan umat Islam adalah Khawariz.
Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa Sultan as Salih. Pada waktu itu tentara dari kaum budak di Mesir/kaum Mamluk memegang kendali pemerintah, setelah as Salih wafat pada tahun 1249 M. kaum Mamluk mengangkat isteri As-Salih yaitu Syajarat ad Dur menjadi Sulthanah/Ratu. Ia adalah penguasa muslim perempuan yang memerintah selama 80 hari. Dialah peletak dasar Dinasti Mamluk di Mesir. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan dinasti Ayyubiyah masih berkuasa di Suria.
Pada tahun 1260 M tentara Mongol hendak menyerbu Mesir, komando tentara Islam dipegang oleh Qutuz (panglima perang Mamluk). Dalam paertempuran Qutuz menang dengan gemilang. Selanjutnya, Qutuz mengambil alih kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu berakhirlah riwayat dinasti Ayyubiyah.

Dinasti Fatimiyah

Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al-
Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai ke
Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu
menamakan Dinasti Fatimiyah. Namun kalangan Sunni mengatakan
Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah dengan doktrindoktrinnya
yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya
mengharapkan kemunculan al–Mahdy.
Ubaidillah dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-
Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan
yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta
menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah
“yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).
Dalam bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan
ibukotanya dari al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah
Fatimiyah sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir
yang mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah
timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze
yang dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika
dan Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut
adalah :
1. ‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2. Al–Qa’im (924-946 M)
3. Al–Manshur (946-953 M)
4. Al–Mu’izz (953-975 M)
5. Al–‘Aziz (975-996 M)
6. Al–Hakim (996-1021 M)
7. Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8. Al–Musthansir (1036-1094 M)
9. Al Musta’li (1094-1101 M)
10. Al–Amir (1101-1131 M)
11. Al–Hafizh (1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13. Al–Faiz (1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid (1160–1171 M)
Namun sejak tahun 1131 M, merupakan masa peralihan pemerintahan dari
“Khalifah” ke “wali”. Hal ini terjadi ketika Dinasti Fatimiyah diperintah oleh al–Hafizh
(sebagai wali bukan sebagai Khalifah).
Pada tahun 1094 M, setelah al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan
Isma’iliyah, yaitu kelompok Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang lebih moderat.
Dia mempertahankan kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah.
Berdirinya Dinasti ini bermula menjelang abad ke-X, ketika kekuasaan Bani
Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan wilayah kekuasaannya yang luas tidak
terkordinir lagi. Kondisi seperti inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya
Dinasti-Dinasti kecil di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya
memiliki tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari
kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan bagi
kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Dinasti Fathimiyah bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen,
melainkan juga merupakan sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal.
Mereka mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan Ali
yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau mengenai
siklus eskatologis sejarah.
Dinasti Fathimiyah berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya.
Dinasti ini mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro.
Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M),
bukannya Musa saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan
ayah mereka (imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan
politik keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir
pertama kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan kebanyakan
kaum sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari Ubaidillah al-
Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah) dan berasal dari Yahudi.
Gerakan Syi’ah Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi doktrin
mesianik dan sentralistik. Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka,
tetapi Isma’il tidak berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum
ayahnya (Imam Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili,
dengan dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini
berangkat dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah dan Ali, ketika ia
melahirkan Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah Fatimiyah
merupakan saudara sesusuan.
Keberhasilan menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu
memberi perlindungan imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan
pengorganisasian dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini,
namun baru pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru
mulai berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah
berhaknya anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan
sistem jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat efektif dan terorganisir
secara rapi.
Ubaidillah yang memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara,
dimana propaganda Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya
dengan memenangkan dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh
Kholifah Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab al-Kufy,
Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman, ia dapat
menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, belahan timur antara
Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah asy-Syi’i. Yang
mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari keturunan Nabi. Para da’i
tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai pendukung kepemimpinan
Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki
Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru
menggantikan ayahnya, datang ke Tunis untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena tidak menguasai daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan
pada da’i, seperti asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak
memberikan harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang
memenuhi program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang
dicurigai, termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas
kekuasaannya, yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia
mengadakan ekspedisi wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir.
Keberhasilan pemerintahan Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat
pemerintahan ke Kairo. Hampir seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai
Fatimi, terutama setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli
(969 M) dan menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai
membangun ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid al-Azhar sebagai
pusat pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu kota baru tahun (973 M).
Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam berbagai aspek kehidupan,
karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu membangkitkan berbagai
macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan), perdagangan, keagamaan, walaupun
peralihan kekuasaan ke wilayah timur, berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka
dibagian Barat. Terbukti, wakil mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat
dengan pemerintahan Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai
puncak kekuasaannya setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah. Para
Khalifah Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian
bersatu karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan Anatholia
pada abad II.
Tetapi pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang mengancam penguasa-penguasa
Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan
Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The
Crusaders II). Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai
terpecah-belah. Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur)
memegang kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh
serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang
menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti
Ayyubiyah.
Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai
kemajuan peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan
kehancuran Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya
(Glasse,1996:43).
1. Perjalanan Pemerintahan
Menurut As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah
melalui dua fase, yaitu :
a. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya
merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan
dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang
mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi
pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah.
Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat
dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar,
sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan.
Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda
pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan
sebagai berikut :
1) Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari
Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi
kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur-
Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan
Idrisiyah Fez sebagai penguasa bawahannya.
Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah
yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam
mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M,
ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu
Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia.
Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para
pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya
sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang
dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di
Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).
2) Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan
bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan
armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang
pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan
pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang
berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan
wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan
oleh putranya Al–Manshur.
3) Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang
dibawah kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia
berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan
ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut
membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi
nama al–Mashuriyah.
4) Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama
Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti
Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a. Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri)
untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b. Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana,
dan pejabat pemerintahan lainnya.
c. Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di
Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir
pada tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as–
Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah
sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan
Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di
Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).
Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang
merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan
(Lapidus, 1999: 536). Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat
pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi
sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat
terkenal dikalangan akademik (As’adi, 2001:115).
Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang.
Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan
Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan
pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa
Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.
5) Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan
pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran.
Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah
berhasil dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah
di Baghdad.
Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur
Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya banyak
terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti
Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.
6) Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh
kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika
menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah
gubernurnya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan
penuh.
Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum KRISTEN
dan Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan
yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang
ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim
memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang
Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72).
Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak
masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang
dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan
pendidikan dan Syiah.
b. Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase
parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang
rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase
konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh
menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid.
Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan
antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai
oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538).
Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang
terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan
Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria.
Perang Salib semula terbentuk dari serangan balik bangsa Eropa yang bersifat umum
terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade)
pertama pada akhir abad kelima, dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di
Syiria daripada Fathimiyyah, karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai
wilayah di Utara Asealon di Palestina.
Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah timur. Antara 1099-
1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan mendirikan sebuah kerajaan
Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai pemerintahan KRISTEN di kota suci
ini, tetapi sekte-sekte KRISTEN timur tidak disisihkan begitu saja.
Respon Muslim terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut
cenderung pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim.
Daerah-daerah yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka
pintu untuk mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya.
Namun secara bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat
digambarkan melalui tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum
Fathimiyyah ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din
sudah mulai berkuasa.
2. Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai
menurun. Kalaupun pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah
seperti apa yang telah dicapai oleh al-Aziz.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fathimiyah adalah :
a. Para penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
b. Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni.
c. Terjadinya persaingan perebutan wazir.
d. Kondisi al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan
diantara pejabat dan militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan
kepada Nur al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula
ia berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah al Din
untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi untuk menguasai
Mesir.
Dengan dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah
riwayat Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262
tahun.
3. Kemajuan-Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat
terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup
berbagai bidang, yaitu :
a. Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India
dan negeri-negeri Mediteramia yang KRISTEN.
b. Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
c. Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
d. Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e. Di bidang keamanan.
4. Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah
Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah
dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan
pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a. Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini
didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari
al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama
Syi’ah.
b. Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang
didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.

sumber:https://yazidazhanzi.wordpress.com/2013/11/14/dinasti-fatimiyah/

Postingan Lama