- SEJARAH BERDIRINYA DINASTI AYYUBIYAH
- MASA PEMERINTAHAN DINASTI AYYUBIYAH
- Kesultanan Ayyubiyah di Mesir Dengan Rajanya Salahuddin Yusuf Al Ayyubi 1171 – 1193 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus dengan rajanya Al-Afdal 1193 – 1196 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Aleppo dengan rajanya Al-Adil I 1183 – 1193 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Hamah Dengan rajanya Al-Muzaffar I 1178 – 1191 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Homs dengan rajanya Al-Qahir 1178 – 1186 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafariqin dengan rajanya Al-Adid I 1193 – 1200 M
- Kesultanan Ayyubiiyah di Sinjar dengan rajanya Al-Asraf 1220 – 1229 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa dengan rajanya As-Salih Ayyub 1232 – 1239 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Yaman dengan rajanya Al-Mu’azzam Turansyah 1173 – 1181 M
- Kesultanan Ayyubiyah di Kerak dengan rajanya An- Nasir Dawud 1229 – 1249 M
- KEMAJUAN – KEMAJUAN PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH
- Kemajuan di Bidang Pendidikan
- Kemajuan di Bidang Kesehatan
- Kemajuan di Bidang Arsitektur
- Kemajuan di Bidang Pertanian dan Perdagangan
- RUNTUHNYA DINASTI AYYUBIYAH
Fatimiyah merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al-
Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai ke
Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Karena itu
menamakan Dinasti Fatimiyah. Namun kalangan Sunni mengatakan
Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah dengan doktrindoktrinnya
yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan sosial. Serta para pengikutnya
mengharapkan kemunculan al–Mahdy.
Ubaidillah dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur-
Gubernur Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar Qairawan
yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya serta
menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo (al-Qohirah
“yang berjaya”) atas prakarsa jenderal Jauhar Atsaqoli (Mufrodi,1997: 116).
Dalam bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan
ibukotanya dari al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah
Fatimiyah sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir
yang mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah
timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut Druze
yang dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
Fathimiyyah adalah Dinasti syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khalifah atau imam di Afrika
dan Mesir tahun 909–1171 M, selama lebih kurang 262 tahun. Para kahlifah tersebut
adalah :
1. ‘Ubaidillah al Mahdi (909-924 M)
2. Al–Qa’im (924-946 M)
3. Al–Manshur (946-953 M)
4. Al–Mu’izz (953-975 M)
5. Al–‘Aziz (975-996 M)
6. Al–Hakim (996-1021 M)
7. Azh–Zhahir (1021-1036 M)
8. Al–Musthansir (1036-1094 M)
9. Al Musta’li (1094-1101 M)
10. Al–Amir (1101-1131 M)
11. Al–Hafizh (1131-1149 M)
12. Azh–Zhafir (1149-1154 M)
13. Al–Faiz (1154-1160 M)
14. Al–‘Adhid (1160–1171 M)
Namun sejak tahun 1131 M, merupakan masa peralihan pemerintahan dari
“Khalifah” ke “wali”. Hal ini terjadi ketika Dinasti Fatimiyah diperintah oleh al–Hafizh
(sebagai wali bukan sebagai Khalifah).
Pada tahun 1094 M, setelah al-Muntasir wafat, terjadi perpecahan dalam gerakan
Isma’iliyah, yaitu kelompok Nizar yang sangat ekstrim dan Musta’ali yang lebih moderat.
Dia mempertahankan kekhalifahan, namun basis kespiritualan lebih banyak melemah.
Berdirinya Dinasti ini bermula menjelang abad ke-X, ketika kekuasaan Bani
Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan wilayah kekuasaannya yang luas tidak
terkordinir lagi. Kondisi seperti inilah yang telah membuka peluang bagi munculnya
Dinasti-Dinasti kecil di daerah-daerah, terutama di daerah yang Gubernur dan sultannya
memiliki tentara sendiri. Kondisi ini telah menyulut pemberontakan-pemberontakan dari
kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta memberi kesempatan bagi
kelompok Syi’ah, Khawarij, dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Dinasti Fathimiyah bukan hanya sebuah wilayah gubernuran yang independen,
melainkan juga merupakan sebuah rezim revolusioner yang mengklaim otoritas universal.
Mereka mendeklarasikan adanya konsep imamah yakni para pemimpin dari keturunan Ali
yang mengharuskan sebuah redefinisi mengenai pergantian sejarah Imam atau mengenai
siklus eskatologis sejarah.
Dinasti Fathimiyah berkuasa mulai (909–1173 M) atau kurang lebih 3 abad lamanya.
Dinasti ini mengaku keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Fatimah az-Zahro.
Kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Ismail bin Ja’far as-Sadiq yang wafat (765 M),
bukannya Musa saudaranya Ismail, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan
ayah mereka (imam Ja’far). Berdasarkan kepemimpinan Ismail inilah sebuah gerakan
politik keagamaan Ad da’wah Fatimiyah diorganisir. Gerakan ini berhasil merealisir
pertama kali pembentukan pemerintahan Syi’i yang eksklusif. Sedangkan kebanyakan
kaum sunni yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah keturunan dari Ubaidillah al-
Mahdi, disebut Dinasti Ubaydiun (Khalifah I Dinasti Fatimiyah) dan berasal dari Yahudi.
Gerakan Syi’ah Fatimiyah ini membuktikan pada Dunia, bahwa potensi doktrin
mesianik dan sentralistik. Walaupun Syi’ah menganggap Ismail sebagai Imam mereka,
tetapi Isma’il tidak berperan secara independen, karena ia mati muda, bahkan sebelum
ayahnya (Imam Ja’far). Kondisi inipun tidak menghalangi perkembangan doktrin Ismaili,
dengan dominasi dari bani Abbasiyah, karena dua golongan ini merasa bersaudara. Ini
berangkat dari Umul Fadhl pernah menyusui Husain anak Fatimah dan Ali, ketika ia
melahirkan Dotham. Jadi menurut mereka bani Abbasiyah dan Syi’ah Fatimiyah
merupakan saudara sesusuan.
Keberhasilan menancapkan doktrin Ismaili, dalam perkembangannya mampu
memberi perlindungan imam-imam mereka di Salamiyah, Siria dan telah memudahkan
pengorganisasian dakwah Fatimiyah. Meskipun dakwah Fatimiyah ini dimulai sejak dini,
namun baru pada masa Abu Ubaidillah Husein, generasi keempat setelah Ismaili, baru
mulai berkembang pesat. Doktrin dakwah populer yang disebarkan pada saat itu ialah
berhaknya anak Ubaidillah atas posisi penyelamat (al-Mahdi). Doktrin ini menggunakan
sistem jaringan para agen (du’ah jamak dari da’i), sehingga sangat efektif dan terorganisir
secara rapi.
Ubaidillah yang memimpin dakwahnya dari Salamiyah dan Siria ke Afrika Utara,
dimana propaganda Syi’ah telah berkembang dengan pesat. Ia memimpin dakwahnya
dengan memenangkan dukungan luas dari daerah-daerah yang kurang diperhatikan oleh
Kholifah Abbasiyah. Lewat da’i seperti Ali bin Fadl al-Yamani dan Ibnu al-Hawsyab al-Kufy,
Yaman, termasuk ibu kotanya, dapat direbut. Dengan dikuasainya Yaman, ia dapat
menyebarkan para da’i ke berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, belahan timur antara
Arabia dan India. Juga Afrika Barat dengan da’i Abu Abdullah asy-Syi’i. Yang
mengemukakan konsep akan datangnya Imam Mahdi , dari keturunan Nabi. Para da’i
tersebut akhirnya berhasil menjadikan kaum Barbar sebagai pendukung kepemimpinan
Ubaidillah al-Mahdi. Selanjutnya, atas dukungan besar inilah, asy-Syi’i berhasil menduduki
Roaqadah, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah. Akhirnya al-Mahdi yang baru
menggantikan ayahnya, datang ke Tunis untuk dinobatkan sebagai Khalifah (909 M).
Karena tidak menguasai daerah kekuasaannya, maka ia banyak menggantungkan
pada da’i, seperti asy-Syi’i. Namun karena yang disebut belakangan rupanya banyak
memberikan harapan dan konsesi terhadap penduduk lokal, maka ia dianggap kurang
memenuhi program al-Mahdi yang luas. Kemudian al-Mahdi membersihkan figur-figur yang
dicurigai, termasuk asy-Syi’i. Dalam masa pemerintahannya, untuk memperluas
kekuasaannya, yang bermaksud memberikan kompensasi pada kaum Barbar, ia
mengadakan ekspedisi wilayah laut tengah, seperti; Genoa, Sisilia, Mesir.
Keberhasilan pemerintahan Fatimiyah ini ditandai dengan pindahnya pusat
pemerintahan ke Kairo. Hampir seluruh daerah Afrika Utara bagian Barat dapat dikuasai
Fatimi, terutama setelah menaklukan wilayah Maghrib yang dipimpin Jawhar asy-Siqilli
(969 M) dan menaklukkan Dinasti terakhir di Fusthath Ikhsyidiyyah. Disana juga mulai
membangun ibu kota baru di Mesir, yaitu al-Qohirah (970 M) serta Masjid al-Azhar sebagai
pusat pendidikan para da’i dan Khalifah al Muizz pindah ke ibu kota baru tahun (973 M).
Dinasti Fatimiyah ini akhirnya makin berkembang dalam berbagai aspek kehidupan,
karena ditopang dengan kekuasaan yang luas dan mampu membangkitkan berbagai
macam aksi yang bersifat wacanis (keilmuan), perdagangan, keagamaan, walaupun
peralihan kekuasaan ke wilayah timur, berlahan-lahan melenyapkan kekuasaan mereka
dibagian Barat. Terbukti, wakil mereka di Tunis, Bani Ziri (1041 M) menyatakan tak terikat
dengan pemerintahan Fatimiyah.
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1036-1094 M) Dinasti Fatimiyah mencapai
puncak kekuasaannya setelah terlibat konflik dengan Yunani tentang masalah Suriah. Para
Khalifah Fatimi umumnya membina hubungan damai dengan Byizantium, kemudian
bersatu karena ancaman-ancaman Petualang Seljuk dan Trukmen di Suriah dan Anatholia
pada abad II.
Tetapi pada akhir abad 11 terjadi aksi Salib I yang mengancam penguasa-penguasa
Turki Suriah. Para Khalifah Fatimiyah, pada pertengahan abad 12 bekerja sama dengan
Dinasti Zangiyyah; Nuruddin dari Aleppo dan Damasqus untuk melawan tentara Salib (The
Crusaders II). Setelah Ascalon jatuh ke tangan tentara Salib, Dinasti Fatimiyah mulai
terpecah-belah. Para Khalifah kehilangan kekuasaan dan para Wazirnya (Gubernur)
memegang kepemimpinan ekskutif dan militer. Dari sini Dinasti Fatimiyah di akhiri oleh
serangan Sahadin (Shalahudin), keponakan yang cakap sebagai pengganti Syirkuh yang
menguasai Mesir (1173 M) di bawah pemerintahan Nuruddin putra Zangi dari Dinasti
Ayyubiyah.
Sekitar tahun 1171 M, Dinasti Fatimiyah ini berakhir. Dinasti ini banyak mencapai
kemajuan peradaban dan peningkatan ekonomi dan penyebab kemunduran dan
kehancuran Fatimiyah disebabkan karena perpecahan di antara para khalifahnya
(Glasse,1996:43).
1. Perjalanan Pemerintahan
Menurut As’adi (2001:77), dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah
melalui dua fase, yaitu :
a. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya
merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan
dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang
mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi
pemerintahan. Keadaan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al – Muizz li Dinillah.
Sedangkan pada masa pemerintahan Az Zahir dan Al – Munthasir Khalifah lebih dekat
dengan keturunan Turki. Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar,
sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan.
Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik tentang pemimpin/Khalifah, roda
pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang dihadapinya, akan dijelaskan
sebagai berikut :
1) Al–Mahdi (909-924 M)
Ubaidillah al–Mahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari
Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i telah menciptakan kondisi yang baik bagi
kedatangannya. Dengan dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur-
Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan
Idrisiyah Fez sebagai penguasa bawahannya.
Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah Fathimiyyah
yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafi’i dalam
mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M,
ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu
Mahdiah yang terletak di pesisir pantai Tunisia.
Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para
pemberontak yang dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya
sampai propinsi Fez di Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga datang
dari kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di
Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).
2) Al–Qa’im ((924-946 M)
Setelah al–Mahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan
bergelar Al–Qa’im. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan
armadanya dan mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang
pesisir Calabria tahun 934 M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan
pemberontakan oleh Abu Yazid yang berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang
berulangkali menaklukan pasukan Al–Qa’im akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan
wafatnya Al–Qa’im pada tahun 946 M, maka berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan
oleh putranya Al–Manshur.
3) Al–Manshur (946-953 M)
Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang
dibawah kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia
berhasil menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan
ayahnya. Ia berhasil menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut
membantu ekspansi hingga ke seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi
nama al–Mashuriyah.
4) Al–Mu’iz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama
Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti
Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a. Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri)
untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b. Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana,
dan pejabat pemerintahan lainnya.
c. Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di
Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir
pada tahun 969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar al–Katib as–
Siqili dengan perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah
sebagai persiapan ke arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan
Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di
Mesir yaitu Kairo Baru (al–Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).
Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang
merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan
(Lapidus, 1999: 536). Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat
pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi
sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat
terkenal dikalangan akademik (As’adi, 2001:115).
Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Mu’iz, pemerintahannya berjalan gemilang.
Ia meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan
Fathimiyyah di Mesir. Ia mempunyai kelebihan–kelebihan baik di bidang seni, satra dan
pengajaran ditambah dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa
Al–Muiz inilah awal kemajuan Fathimiyyah.
5) Al–‘Aziz (975-996 M)
Al–Aziz putra Al–Muiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan
pendamai membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran.
Seluruh Syiria sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah
berhasil dikuasainya, bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah
di Baghdad.
Rupanya ia mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur
Golde Palace (tempat yang sangat indah), The Perl Pavilion (Paviliun yang luasannya banyak
terbuat dari mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti
Fathimiyyah mencapai puncak kejayaannya.
6) Al-Hakim (996-1021 M)
Al–Hakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh
kerajaan tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika
menjadi penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah
gubernurnya yang tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan
penuh.
Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum KRISTEN
dan Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan
yang tinggi dalam negara. Selama pemerintahan Al–Hakimlah gerakan religius Syi’i yang
ekstrem, yaitu Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena Al–Hakim
memberikan semangat pada pendirinya, yaitu da’i Al–Darazi, maka Druze memandang
Khalifah Al–Hakim sebagai titisan Tuhan (Bosworth, 1993:72).
Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak
masjid, dan bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang
dibangun tahun 1306 M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan
pendidikan dan Syiah.
b. Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase
parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang
rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase
konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh
menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid.
Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan
antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai
oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538).
Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang
terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan
Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria.
Perang Salib semula terbentuk dari serangan balik bangsa Eropa yang bersifat umum
terhadap kekuatan Muslim di wilayah Laut Tengah. Terjadinya aksi Salib (Crusade)
pertama pada akhir abad kelima, dan ini lebih mengancam penguasa-penguasa Turki di
Syiria daripada Fathimiyyah, karena sebetulnya saat itu Fathimiyyah tidak menguasai
wilayah di Utara Asealon di Palestina.
Melalui jalur laut dan darat pasukan Eropa bergerak ke arah timur. Antara 1099-
1109 M mereka menaklukan Edessa, Antioch, dan Tripoli, dan mendirikan sebuah kerajaan
Latin di Yerussalem. Dewan pendeta Latin menguasai pemerintahan KRISTEN di kota suci
ini, tetapi sekte-sekte KRISTEN timur tidak disisihkan begitu saja.
Respon Muslim terhadap perang Salib ini cukup lamban, bahkan respon tersebut
cenderung pada upaya pengaturan Mesir dan Syiria kedalam sebuah imperium Muslim.
Daerah-daerah yang merasa tidak mampu menghadapi ancaman perang Salib membuka
pintu untuk mengadakan kerjasama militer dengan negara-negara Islam lainnya.
Namun secara bertahap serangan balik Muslim semakin gencar yang dapat
digambarkan melalui tiga fase (Lapidus, 1999:542). Fase pertama terjadi sebelum
Fathimiyyah ditaklukan oleh Ayyubiyah. Sedangkan pada fase kedua dan ketiga Nur Al Din
sudah mulai berkuasa.
2. Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz, pamor Dinasti Fatimiyyah mulai
menurun. Kalaupun pada masa al-Munthasir sempat mengalami kejayaan, itu tidaklah
seperti apa yang telah dicapai oleh al-Aziz.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fathimiyah adalah :
a. Para penguasa yang selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
b. Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada masyarakat yang mayoritas Sunni.
c. Terjadinya persaingan perebutan wazir.
d. Kondisi al-‘Adhid (dalam keadaan sakit) yang dimanfaatkan oleh Nur ad-Din.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan
diantara pejabat dan militer. Merasa tidak sanggup, akhirnya al-Zafir meminta bantuan
kepada Nur al-Din dengan pasukan yang dipimpin oleh Salah al-Din Al-Ayyubi. Mula-mula
ia berhasil membendung invasi tentara Salib ke Mesir. Akan tetapi kedatangan Salah al Din
untuk yang kedua kalinya tidak hanya memerangi pasukan Salib, tetapi untuk menguasai
Mesir.
Dengan dikalahkannya tentara Salib sekaligus dikuasainya Mesir, maka berakhirlah
riwayat Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171 M yang telah bertahan selama 262
tahun.
3. Kemajuan-Kemajuan Dinasti Fatimiyah
Selama kurun waktu 262 tahun, Fatimiyah telah mencapai kemajuan yang pesat
terutama pada masa Al-Muiz, Al-Aziz dan Al-hakim. Kemajuan-kemajuan itu mencakup
berbagai bidang, yaitu :
a. Kemajuan dalam hubungan perdagangan dengan Dunia non Islam, termasuk India
dan negeri-negeri Mediteramia yang KRISTEN.
b. Kemajuan di bidang seni, dapat dilihat pada sejumlah dekorasi dan arsitektur istana.
c. Dalam bidang pengetahuan dengan dibangunnya Universitas Al–Azhar.
d. Di bidang ekonomi, baik sektor pertanian, perdagangan maupun industri.
e. Di bidang keamanan.
4. Peninggalan Bersejarah Dinasti Fatimiyah
Di antara peninggalan Dinasti Fatimiyah, ada dua bangunan yang amat bersejarah
dan keberadaannya hingga kini masih bisa dirasakan, bahkan mengalami perkembangan
pesat. Peninggalan-peninggalan itu adalah :
a. Universitas Al–Azhar yang semula adalah masjid sebagai pusat kajian. Masjid ini
didirikan oleh al-Saqili pada tanggal 17 Ramadlan (970 M). Nama Al–Azhar diambil dari
al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi SAW dan istri Ali bin Abi Thalib, imam pertama
Syi’ah.
b. Dar al-Hikmah (Hall of Science), yang terinspirasi dari lembaga yang sama yang
didirikan oleh al-Ma’mun di Baghdad.
sumber:https://yazidazhanzi.wordpress.com/2013/11/14/dinasti-fatimiyah/